Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(919)
Mataram.
Pertarungan semakin keras. Senopati Jenawi mengerahkan seluruh ilmunya untuk bisa segera menundukkan lawan. Ia bergerak dengan cepat menyerang dari segala arah. Ia bagai memutari lawannya sambil melancarkan serangan, baik hantaman maupun tendangan. Sedangkan lawannya berdiri kokoh menghadapi setiap serangan dari senopati Jenawi. Beberapa kali terjadi benturan kekuatan. Namun senopati Jenawi heran, selama ini lawan yang ia hadapi sebelumnya dengan cara itu pasti sudah tumbang berkalang tanah. Namun lawan yang sepertinya lamban ini masih tetap berdiri kokoh tak tergoyahkan. Akan tetapi lawannya pun tak mudah untuk menumbangkannya. Hantaman lawannya yang lebih kekar itu ia tahan dengan ilmu kebal semacam ilmu tameng waja. Walaupun ia mampu menahan rasa sakit dari hantaman itu, namun sering ia terdorong oleh kekuatan lawan. Sering kali ia harus meloncat mundur.
Para penonton termasuk Kanjeng Panembahan Senopati sendiri menyaksikan dengan sungguh-sungguh. Tidak ada yang sempat memalingkan pandangan dari arena pertarungan. Mereka kagum kepada keduanya. Senopati Jenawi memang memiliki bekal yang lebih dari cukup sebagai seorang senopati Pajang dengan gerakannya yang lincah dan ringan. Dan ilmu kebalnya yang liat dan kuat. Namun demikian, mereka lebih kagum terhadap lawannya yang tampak kokoh kuat menerima serbuan dari senopati Jenawi. Ia tak tergoyahkan oleh serangan me-mbadai dari lawannya.
Tiba-tiba para penonton dari antara para pengawal adipati Pajang bersorak dan bertepuk tangan. Tendangan kaki yang kuat yang dilambari dengan ilmunya yang tinggi kembali mampu menjatuhkan senopati Jenawi. Kaki yang kokoh kuat itu berhasil menyapu kaki lawannya. Senopati Jenawi kembali jatuh berguling di rerumputan alun-alun. Walaupun ia telah membentengi dirinya dengan ilmu kebalnya, namun kekuatan lawan lebih kuat dari dirinya. Ia segera meloncat bangkit berdiri dengan muka merah padam menahan malu. Sorak sorai dan tepuk tangan dari para prajurit pengawal adipati Gagak Baning itu pun membuat merah telinganya. Sedangkan ia sendiri belum mampu menggoyahkan lawannya. Lawannya bagai batu karang yang tak goyah diterjang ombak dari berbagai arah.
Murid orang bercambuk yang kokoh kekar itu mulai bisa membaca cara bertarung lawannya. Ia menilai titik lemah lawannya ada pada tumpuan kakinya. Sementara ia memang kesulitan untuk mendaratkan pukulan ke tubuh lawan yang bergerak gesit dan lincah.
Murid orang bercambuk yang tinggi langsing mulai tenang perasaannya. Adik seperguruannya itu sepertinya di atas angin. Ia bisa menghemat tenaga dengan tidak banyak bergerak. Sebaliknya, lawannya pasti menguras tenaga dengan gerakannya yang menyerang dari segala arah. Sedangkan senopati Birawa tak mampu menahan kecemasannya karena adik seperguruannya itu belum mampu menggoyahkan lawannya. Sedangkan ia tahu bahwa adik seperguruannya itu telah mengerahkan puncak ilmunya. Baik ilmu meringankan tubuh, ilmu kekuatan hantaman serta ilmu kebalnya. Namun senopati Birawa yakin bahwa jika ia yang menghadapi murid orang bercambuk itu akan mampu merobohkan lawannya dengan puncak ilmunya. Ia memang lebih matang dari adik seperguruannya itu. Ia pun telah memiliki ilmu lain yang tidak dimiliki oleh adik seperguruannya itu. Ilmu yang jika ia hantam-kan dengan tangan kosong akan mampu memecahkan batu cadas. Dan jika ia hantam-kan ke tubuh murid orang bercambuk itu pasti akan membuat lawannya itu muntah darah. Ia sudah bersiap dengan puncak ilmunya, jika adik seperguruannya itu tak mampu mengatasi lawannya, ia yang akan menerjang lawannya langsung dengan puncak ilmunya.
Kini perhatian semua penonton kembali tertuju di tengah arena. Senopati Jenawi telah bersiap kembali. Ia kini harus semakin berhati-hati. Dua kali ia terguling di rerumputan dengan cara yang hampir sama. Sesungguhnya ia pun merasakan sakit di kakinya yang terhantam oleh tendangan lawan.
…………..
Bersambung……….
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Harjuna Sasrabahu dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.