Namun Ki Tanu kemudian mengatakan bahwa, walau sesakti atau seampuh apapun seseorang, namun tak akan mampu menaklukkan ganasnya alam.
Konon, saat itu pernah terjadi peristiwa alam yang dahsyat yang meluluhlantakkan Bhumi Mataram. Peristiwa meletusnya gunung merapi yang disebut pralaya. Hampir semua apapun yang berada di sekitar gunung merapi diterjang lahar panas serta muntahan pasir. Hutan lebat dan candi-candi tertutup oleh pasir gunung, tak terkecuali berbagai bangunan termasuk keraton dan segala isi dan penghuninya. Candi-candi yang sedikit lebih jauh dari jangkauan lahar dan pasir banyak yang roboh tak berbentuk. Karena gemuruhnya letusan gunung merapi juga menimbulkan gempa yang menggetarkan alam di sekitarnya. Banyak candi yang terpendam, yang runtuh keseluruhan dan yang runtuh sebagian. Hanya sebagian kecil candi yang masih utuh dan berdiri tegak. Candi Prambanan dengan candi sewunya, sebagian besar runtuh, sebagian kecil saja yang masih berdiri tegak. Kali Opak sedikit menyelamatkan sehingga candi-candi yang berada di sekitar Prambanan tidak tertutup oleh pasir.
Gendhuk Jinten tercenung sedih mendengar cerita dari ayahnya. Ia sesungguhnya sangat ingin mengunjungi candi-candi tersebut.
“Bagaimana nasib negeri Mataram selanjutnya, ayah…..?” tanya Gendhuk Jinten.
“Sejarah seakan menjadi terputus, cerita selanjutnya tentang Bhumi Mataram pun belum ayahmu dengar lagi….! Namun demikian kehidupan di pulau Jawa ini tidak berhenti. Yang aku dengar kemudian, bahwa keraton kemudian berpindah ke sisi timur dari pulau ini…..!” kata Ki Tanu.
“Negeri kita Majapahit itu juga berada di sisi timur pulau ini ayah….?” tanya Gendhuk Jinten.
“Ya benar, Gendhuk…..! Konon dimulai oleh trah atau wangsa Isyana yang dipimpin oleh seseorang yang bernama Mpu Sendok…..!” kata Ki Tanu.
“Bagaimana dengan seseorang yang bernama Mpu Sendok itu, ayah…..?” tanya Gendhuk Jinten.
“Tentang Mpu Sendok kita lanjutkan besuk malam lagi, kini malam telah larut. Saatnya sekarang kau untuk beristirahat, dan besuk pagi melanjutkan pekerjaan untuk menyiapkan bagi warga yang membantu kita……!” kata Ki Tanu.
Gendhuk Jinten sedikit kecewa, namun ia tetap menuruti permintaan ayahnya.
Di hari berikutnya, pembangunan pondok dan penataan kawasan di sekitar pondok berlangsung lancar. Mereka yang hadir sambatan juga lebih dari dua puluh orang. Pondok pun telah dianggap selesai. Bahkan rumput-rumput liar dan tanaman perdu dan semak belukar telah dibabat bersih.
“Besuk dedaunan dan ranting-ranting ini kita bakar jika sudah kering…..!” kata seorang dari mereka.
“Maaf kisanak, sebaiknya kita tidak membakar dedaunan dan ranting-ranting kering itu…..! Yang kita anggap sebagai sampah itu bisa menjadi pupuk bagi tanah ini…..!” kata Ki Tanu.
Mereka tidak segera mengerti jalan pikiran dari Ki Tanu, karena selama ini, mereka lebih senang membakar apapun yang mereka anggap sebagai sampah. Bahkan senang berdiang untuk menghangatkan tubuh di musim bediding.
“Besuk akan aku gali tanah dan dedaunan itu dimasukkan di dalamnya kemudian dipendam. Akan lebih baik jika dedaunan itu dicampur dengan sampah kandang ternak. Beberapa bulan kemudian, tempat itu ditanami pohon, dan pohon itu akan tumbuh dengan subur……!” kata Ki Tanu.
Mereka menjadi mengerti dengan penjelasan dari Ki Tanu tersebut.
“Apakah besuk dan seterusnya masih ada yang akan dikerjakan, Ki……?” tanya Ki Jagabaya yang hari itu ikut gotongroyong sambatan.
“Terimakasih yang sebesar-besarnya kami ucapan atas segala bantuan dari Ki Demang dan para perangkatnya serta seluruh warga kademangan yang telah membantu kami. Pembangunan pondok kami anggap sudah selesai…..!” kata Ki Tanu.
Mulai malam itu, Ki Tanu dan Gendhuk Jinten sudah tidak lagi tidur di gubuk di atas pohon, tetapi akan di pondok baru yang kokoh kuat. Ada tiga balai-balai dengan galar bambu sebagai alas. Masing-masing untuk Ki Tanu, untuk Gendhuk Jinten dan yang satu besar dan panjang bisa untuk jagongan beberapa orang sambil berbincang-bincang.
…………..
Bersambung………
Petuah Simbah: “Jangan membakar sampah sembarangan karena bisa berbahaya bagi lingkungan.”
(@SUN)