Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(645)
Mataram.
Seri Danang Sutawijaya.
Dalam kerumunan banyak orang dari berbagai daerah itu terjadi perbincangan yang melebar ke mana-mana. Mereka juga saling memperkenalkan diri, nama dan asal mereka. Namun perbincangan kembali ke sekitar kawasan Kotagede beserta para penghuninya.
“Kami dari kademangan Karanglo hampir semua kenal dengan semua penghuni kawasan ini…..!” Berkata salah seorang yang memang berasal dari kademangan Karanglo.
“Lha kok bisa Kang…..?” Bertanya orang dari Denggung yang duduk bersebelahan.
“Hampir semua laki-laki dari Karanglo ikut membangun jalan dari Karanglo sampai Papringan…..! Lagi pula Ki Demang Karanglo juga bersahabat dengan para sesepuh Mataram. Bahkan Ki Demang seakan menjadi bagian dari kerabat Mataram itu sendiri…..! Kami bangga dengan Ki Demang…..!” Berkata orang dari Karanglo.
“Kalau kami dari Kembanglampir bergiliran setiap pekan empat atau lima orang ikut membantu sejak babat Alas Mentaok. Ki Ageng Giring sesepuh Kembanglampir adalah saudara seperguruan dari Ki Ageng Mataram juga. Juga bersahabat dengan Ki Demang Karanglo…..!” Sahut orang dari pegunungan Sewu.
“Ya benar……! Kami juga mengenal baik Ki Ageng Giring yang ramah itu…..!” Sahut orang dari Karanglo.
“Keluarga kami termasuk yang beruntung, beliau Raden Mas Danang Sutawijaya pernah singgah di rumah kami di dekat Bukit Bangkel…..!” Sela orang dari dekat Bukit Bangkel, seorang pembuat gula kelapa yang pernah bertemu dengan Raden Mas Danang Sutawijaya.
“Heee…., Bukit Bangkel yang sering untuk nenepi – bertapa itu…..?” Bertanya orang yang dari Denggung.
“Benar…..! Kami dari seberang Kali Opak. Raden Mas Danang Sutawijaya juga pernah nenepi di sana…..!” Jawab orang dari dekat Bukit Bangkel itu.
“Suatu saat aku juga ingin ke Bukit Bangkel, tidak terlalu jauh dari tempat kami…..!” Sela yang lain.
“Kisanak dari mana…..?” Bertanya orang dari dekat Bukit Bangkel itu.
“Kami rombongan dari Wiyara….!” Sahut orang itu.
“Ya….., dekat sekali…..! Silahkan singgah di rumah kami…..!” Tawaran orang dari Bukit Bangkel.
Perbincangan seperti itu merata hampir di seluruh tempat para pelayat itu. Sehingga suara mereka gumrenggeng – bergeremang bagai sarang tawon gung yang diganggu burung bido.
Matahari telah sedikit condong ke barat, namun yang berdatangan masih beriringan. Yang di dalam pendapa dan halaman sekitarnya telah penuh. Mereka yang datang kemudian bergerombol di bawah pohon beringin yang rimbun di tepi alun-alun.
Hampir semua penghuni kawasan Kotagede disibukkan dengan membagikan bukusan daun pisang nuk nasi dengan lauk rendang daging kerbau. Juga kendi berisi air putih yang bisa untuk cuci tangan dan minum. Hampir semua penghuni kawasan Kotagede memiliki satu atau lebih kendi di rumah masing-masing. Dan saat itu mereka bawa untuk keperluan pelayatan itu.
“Pokoknya semua tamu pelayat harus kebagian nasi nuk dan minuman. Kita sebagai tuan rumah jatah belakangan, jangan sampai kita malu jika ada yang tidak kebagian…..!” Berkata sesepuh dapur yang menyiapkan hidangan.
Tamu yang hadir melayat memang jauh lebih banyak dari yang diperkirakan. Dengan menyembelih tiga ekor kerbau bisa kurang jika para penghuni kawasan Kotagede tidak mengalah.
Banyaknya orang yang hadir melayat di Mataram itu tidak lepas dari pengamatan prajurit sandi dari Pajang. Mereka heran, bagaimana Mataram yang baru tumbuh itu bisa mendapat perhatian yang sedemikian besar dari masyarakat di sekitar kawasan ini. Ini artinya, kehadiran Mataram mulai diterima oleh masyarakat sekitarnya. “Para senopati di Pajang semestinya tidak mengabaikan hal ini…..! Hal ini juga merupakan kekuatan yang tersembunyi bagi Mataram…..!” Bisik salah seorang prajurit sandi kepada sejawatnya yang berbaur dengan para pelayat.
‘Tetapi banyak dari para senopati kita yang menganggap kecil kekuatan Mataram…..!” Bisik kawannya tanpa didengar oleh orang lain.
……………..
Bersambung……….
(@SUN-aryo)
**Kunjungi web kami di Google.
Ketik; stsunaryo.com
Ada yang baru setiap hari.
Kunjungi pula situs saya di Youtube. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook.