Ki Tanu tersenyum, ia mengerti yang ditanyakan oleh putrinya itu.
“Ya tentu saja yang diterjang lahar pasti akan musnah…..! Bahkan hutan dan candi-candi pun tertutup pasir….!” jawab ayahnya.
“Oooh…..! Ayaah….! Itu asapnya membubung tinggi….!” seru Gendhuk Jinten yang melihat melihat asap gunung Merapi membubung tinggi.
“Nanti dari tempat yang akan kita tuju, pemandangan akan lebih jelas…..!” kata Ki Tanu.
Kemudian Ki Tanu bercerita kepada putrinya itu agar bertambah wawasan. Dikatakan bahwa dahulu, kerajaan-kerajaan besar berada di sekitar gunung Merapi itu. Namun karena meletus dahyat yang disebut pralaya, kerajaan-kerajaan itu berpindah ke pulau Jawa bagian timur. Diceritakan pula bahwa dahulu ada negeri besar, Mataram namanya. Kira-kira pada zaman itulah candi-candi dibangun di wilayah itu.
“Kau pasti pernah mendengar di sanggar pawiyatan adanya candi Ratu Baka dan candi Prambanan. Letak kedua candi itu sudah tidak jauh dari tempat ini….! Ayahmu ini pernah mengembara ke tempat itu….!” kata Ki Tanu.
“Besuk-besuk, Jinten diantar melihat candi-candi itu, ayah…..!” kata Gendhuk Jinten.
Namun Ki Tanu hanya tersenyum, bahkan kemudian diceritakan pula bahwa ada sebuah candi yang lebih besar dari candi Prambanan, namun konon masih tertimbun lumpur dari gunung Merapi pula. Dan keberadaan candi itu juga sulit dijangkau, konon katanya, candi itu disebut candi Mbudur. Dikatakan oleh Ki Tanu pula bahwa ia belum pernah berkelana sampai ke tempat itu.
Gendhuk Jinten yang telah belajar di sanggar pawiyatan untuk para putra-putri bangsawan itu senang mendengar cerita dari ayahnya. Ia senang mendengarkan cerita-cerita tentang kerajaan-kerajaan dan para raja zaman dahulu, karena eyangnya adalah seorang raja pula. Ia pun pernah mendengar cerita tentang negeri Jenggala, Kediri, Tumapel, Singasari dan kemudian negeri Majapahit yang jaya. Namun tak mengira bahwa ia dan ayahnya yang merupakan trah para raja harus terlunta-lunta sampai ke tempat itu. Walau demikian Gendhuk Jinten yang semula bernama Dyah Mayang Sari itu tidak mengeluh, ia percaya sepenuhnya kepada ayah, Ki Tanu yang semula bernama Raden Tanu Teja itu.
Sementara bapak-anak, Ki Tanu dan Gendhuk Jinten sedang berbincang di bawah pohon di pinggir jalan itu, ada empat orang yang lewat dari arah utara. Mereka berbicara dengan nada keras disertai umpatan, seakan jalan itu hanya milik mereka.
“Habis, habis semua milikku….! Sawah, sapi, tegalan kontal dalam tiga malam…..!” keluh salah seorang dari mereka.
“Uangku juga habis….! Jika aku pulang kemarin, aku pasti sudah kaya. Karena aku kalian bujuk, aku teruskan sampai tadi malam. Akhirnya habis semua uangku…..!” sahut yang lain.
“Ha ha ha……! Kita ini, kalau barang kita belum habis, ya belum pulang….!” sahut yang lain sambil berkelakar.
“Kalau aku nggak brani pulang….! Sampai di rumah nggak bawa uang, pasti disambut ulegan sambel oleh istriku…!” seloroh yang lain lagi.
“Ha ha ha ha….. Bojomu galak…..! Ha ha ha ha…..!” sindir kawannya.
“Dia itu kalau dipiting istrinya sudah nggak berkutik kok….!” seloroh yang lain yang tahu bahwa istrinya lebih besar dari suaminya itu.
Ki Tanu heran, karena keempat orang itu, setelah lewat beberapa depa kemudian berbalik lagi. Dan sepertinya akan menghampiri Ki Tanu dan putrinya.
Benar dugaan Ki Tanu, keempat orang itu kemudian mengelilingi Ki Tanu dan putrinya.
Tanpa basa-basi, salah seorang dari mereka kemudian berkata kepada Ki Tanu.
“Hee Kisanak….! Serahkan uang yang ada padamu…..!” gertaknya.
Ki Tanu segera tanggap bahwa empat orang itu akan merampoknya. Ia dan putrinya segera mepet, menempel di pohon besar tempat ia berteduh. Ki Tanu melindungi putrinya agar tidak dijadikan sandera jika ia harus bertempur melawan keempat orang itu.
“He he he…..! Jangan banyak tingkah, ayo serahkan, nanti keburu banyak orang lewat….!” kata yang lain.
“Tidak…..! kalian mau apa….?” kata Ki Tanu tegas sambil memegang joran pacul.
Hampir bersamaan, keempat orang itu melolos pisau belati yang terselip di pinggang mereka.
…………
Bersambung……..
Petuah Simbah: “Ibarat; entek sawah, entek ngomah, adol kathok, itulah akibat berpenjudi.”
Ibarat; sawah dan rumah dan apapun yang ada di rumah habis, bahkan celana pun ikut terjual, itulah akibat berpenjudi.
(@SUN)
Halo Gan.. Saya sudah klik mbaca nih.. Tp nyari yg part3 kok belum ketemu ya.. Tolong infonya.. Terima kasih
Berikut Link nya :
https://maswo.my.id/penerus-trah-prabu-brawijaya-gendhuk-jinten-part3/