Malam itu, dengan sangat berhati-hati, Raden Tanu Teja dan putrinya Dyah Mayang Sari berhasil keluar dari kasatrian yang berada di dalam benteng keraton itu. Sesekali mereka harus berlindung agar tidak diketahui oleh siapapun.
Mumpung hari belum terlalu malam, Raden Tanu Teja ingin segera menjauh dari keraton agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Raden Tanu Teja di masa mudanya adalah seorang petualang. Ia sering mengembara bersama dengan teman-teman seperguruannya. Namun mereka lebih sering mengembara ke arah barat, ke arah matahari terbenam.
Oleh karena itu, nalurinya menuntun untuk pergi ke arah barat, berseberangan dengan kepergian Baginda Raja bersama para garwa dan pengiringnya yang pergi ke arah timur.
Raden Tanu Teja berusaha untuk tidak melewati jalur utara yang tak jauh dari pantai. Ia tahu bahwa pasukan musuh yang datang dari Demak Bintara itu melewati jalur utara. Jika melewati jalur itu bisa jadi akan berpapasan dengan para prajurit dari Demak Bintara.
Jika ia pergi seorang diri tentu tidak menjadi masalah, ia akan mampu mempertahankan diri jika harus berhadapan dengan para prajurit. Ia pun telah memiliki bekal yang cukup dalam olah kanuragan. Tetapi kini, ia bersama putrinya yang belum dewasa.
Raden Tanu Teja lebih mendalami ilmu obat-obatan alami yang bisa untuk membantu kawula di mana pun ia berada.
Suasana sunyi sepi mencekam dirasakan oleh Raden Tanu Teja. Ia dan putrinya tak bersua dengan siapa pun di jalan yang mereka lalui. Jalan yang biasanya ramai itu kini lengang.
Mungkin sekali kabar penyerbuan pasukan Demak Bintara ke keraton Majapahit itu telah tersebar luas sehingga mereka lebih memilih tinggal di dalam rumah, atau bahkan bersembunyi di tempat yang aman.
Tiba-tiba terlintas di benak Raden Tanu Teja untuk menyamarkan jati dirinya. Jika ia masih menggunakan namanya, tentu akan banyak menimbulkan kecurigaan. Ia di kalangan para bangsawan di dalam keraton lebih sering dipanggil dengan sebutan ‘Den Teja.’ Jika ia masih dengan sebutan itu, tentu akan mudah dikenali.
“Nini…..! Kau sebaiknya tidak lagi dengan namamu yang sekarang, Den Rara Dyah Mayang Sari, tetapi dengan sebutan sebagai seorang kawula biasa agar kita tidak mudah dikenali oleh siapapun…..!” kata Raden Tanu Teja ketika sedang beristirahat di tepi jalan yang sunyi.
Dyah Mayang Sari gadis kecil yang cerdas itu bisa mengerti maksud ayahnya, namun demikian ia masih bertanya.
“Maksud ayah……?”
“Kau dan ayahmu ini akan berganti sebutan nama….! Ayahmu ini tidak lagi ingin dipanggil Raden Teja, tetapi cukup dengan panggilan Ki Tanu…..!”
“Ki…Ta…nu…..!” ucap Dyah Mayang Sari mengulangi kata ayahnya dengan tersenyum.
“Bagus…., ayah……! Ki…Ta…nu….!” lanjut Dyah Mayang Sari.
“Den Rara…..! Siapakah nama ayahmu…..?” tanya Ki Tanu kepada putrinya menguji.
“Pangeran…. eeeh…. Gusti….. eeh… Ki….Ta…nu…..!” kata Dyah Mayang Sari tersenyum geli. Ia merasa aneh dengan sebutan ayahnya itu.
Mereka berdua pun tersenyum, seakan lupa bahwa sedang dalam pelarian yang bertaruh nyawa.
“Dan kaupun harus dengan sebutan yang baru pula….!” kata Ki Tanu.
“Rara Sari…..! sepertinya bagus, ayah…..!” usul Den Rara Dyah Mayang Sari.
“Tidak hanya bagus….! Tetapi terlalu bagus….! Nama itu masih akan menjadi persoalan jika kau gunakan….!” kata ayahnya.
“Sebaiknya sebutan apa, ayah…..!” kata Den Rara Dyah Mayang Sari.
“Sebaiknya, kau gunakan nama seperti kawula kebanyakan…..! Nama yang cocok adalah; Gendhuk Jinten, Gen….dhuk….. Jin….ten….!” kata Ki Tanu sambil mengulang.
“Gen…..dhuk…. Jin….ten….! Gendhuk Jinten….. hi hi hi….!” kata Den Rara Dyah Mayang Sari sambil terkikik.
“Senang ayah….., Rara senang dengan sebutan itu….! Jinten, bukankah jinten itu bumbu dapur dan bisa sebagai obat, ayah…..!” kata Den Rara Dyah Mayang Sari, gadis cerdas yang senang belajar itu.
“Benar…., di dapur pasti ada…..! Bumbu yang sederhana, namun membuat lezat masakan dan berguna untuk obat……!” kata Ki Tanu yang telah mempelajari ilmu obat-obatan alami itu.
………..
Bersambung………
Petuah Simbah: “Banyak bahan obat di dapur kita, namun sering kita abaikan.”
(@SUN)