Lintang Panjer Sore masih bersinar terang, pertanda malam belum larut.
Ki Tanu ingat, tak terlalu jauh dari tempat itu ada gubug di tengah sawah yang bisa untuk beristirahat. Ia tahu bahwa putrinya pasti lelah, haus dan lapar. Namun ia juga tahu bahwa putrinya itu tak pernah mengeluh.
“Jinten…..!” sapa ayahnya yang masih terasa asing bagi putrinya yang biasa dipanggil Den Rara Dyah Mayang Sari itu.
“Oooh… ooh…., ya… ya… ayah….!” jawab Gendhuk Jinten yang terasa canggung.
Ki Tanu pun tersenyum yang melihat tingkah putrinya.
“Ayo kita melanjutkan perjalanan…..!” ajak Ki Tanu.
“Baik ayah…..!” kata Gendhuk Jinten.
Kedua orang ayah dan anak, Ki Tanu dan Gendhuk Jinten segera meninggalkan tempat itu. Selama mereka beristirahat, tidak terlihat seorang pun yang lewat, juga para prajurit tak terlihat meronda sampai di tempat itu.
Ki Tanu memahami, akibat dari serbuan yang singkat itu sungguh dahsyat. Para prajurit tak berani menentukan sikap, sedangkan kawula takut, bahkan untuk keluar rumah sekalipun.
Keduanya telah sampai di gubug yang di tuju. Ki Tanu pernah beristirahat di gubug itu ketika berkelana bersama kawan-kawannya. Gubug itu sepi, namun tampak bahwa gubug itu sering disinggahi.
“Jinten…..! beristirahatlah, ayahmu akan tetap berjaga…..!” kata Ki Tanu.
“Baik ayah…..!” jawab Gendhuk Jinten tanpa mengeluh.
Sementara itu, pelarian Baginda Raja ke arah timur terus melaju. Walaupun sesekali beristirahat untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka minum, makan rumput dan beristirahat. Mereka, para putri keraton pun perlu beristirahat pula. Kehidupan kawula di arah timur tetap seperti biasa, belum terpengaruh oleh peristiwa yang terjadi di keraton Majapahit. Mungkin mereka memang belum mendengarnya.
Baginda Raja memiliki banyak pilihan untuk sekedar singgah, atau bahkan menetap di sebuah Kadipaten di wilayah timur, jika kemudian berbelok ke arah selatan, akan sampai di Kadipaten Singasari yang masih kerabat yang tetap setia kepada Majapahit. Atau bahkan mereka bisa membuat pesanggrahan di tepi hutan Purwa, tempat yang hampir tidak mungkin dijangkau pasukan musuh. Atau bisa saja Baginda Raja bersama pengirimannya menyeberangi Selat Bali, di sana ada pula kerabat dan sahabat yang bisa menerimanya.
Namun, malam itu Baginda Raja ingin singgah di sebuah banjar kademangan. Baginda Raja tak ingin terjadi kegaduhan di tempat mereka menginap. Oleh karenanya, diutuslah dua orang prajurit untuk mendahuluinya, agar dikatakan bahwa Baginda Raja hanya akan menginap malam itu, dan sebelum matahari terbit sudah akan melanjutkan perjalanan. Dipesankan pula jangan sampai terjadi kegaduhan ditempat mereka beristirahat. Bahkan, para perangkat kademangan pun tidak perlu diberi tahu.
Baginda Raja tak ingin, kepergiannya menjadi perbincangan, sebisa mungkin jangan sampai ada yang tahu.
Sang Baginda Raja menyayangkan karena Putri Campa tertinggal di keraton Majapahit.
Saat itu, Putri Campa memang sedang di dapur bersama para abdi untuk belajar memasak masakan Jawa. Mereka yang di dapur pun berusaha untuk menyelamatkan diri sebisa mungkin. Saat itu, Putri Campa bersembunyi di balik almari, dan tidak menyadari bahwa para garwa dan para putri telah berkumpul di salah satu pendapa untuk bersiap-siap meninggalkan keraton.
Para garwa dan para putri masih sempat membawa barang-barang berharga, mas intan permata, rajabrana. Demikian juga para abdi raja sempat pula membawa barang-barang berharga, terutama pusaka-pusaka keraton. Namun demikian, hanya sebagian kecil yang bisa dibawa. Sebagian besar lagi tetap tertinggal di keraton.
Malam hari itu juga, para prajurit penyerbu dari Demak Bintara merasa menang perang. Para senopati memerintahkan untuk menjarah harta benda berharga yang bisa diangkut ke Demak Bintara. Hal yang lumrah, jika pasukan yang menang perang itu merampas harta kekayaan lawan sebagai pampasan perang. Bahkan para wanita cantik pun bisa menjadi pampasan perang. Putri Campa pun akan diboyong ke Demak Bintara pula.
…………
Bersambung……….
Petuah Simbah: “Seorang sahabat akan bisa membantu kesulitan kita.”
(@SUN)