Penerus Trah Prabu Brawijaya-Gendhuk Jinten-Part#56

Malam memang telah larut, Ki Bekel perlu beristirahat. Birawa dan Wilapa tidak bisa memaksa Ki Bekel untuk terus bercerita. Namun Ki Bekel telah berjanji bahwa besuk pagi akan di lanjutkan sambil berjalan menuju ke petilasan keraton Baka yang juga sering disebut candi Ratu Baka itu.

Malam itu, Birawa dan Wilapa masih sempat berbincang. Birawa ingin sekali mengunjungi petilasan keraton Baka dan candi Prambanan dan juga candi-candi yang banyak tersebar di sekitar wilayah itu
“Apakah kita tidak ke candi Prambanan dahulu, Lasa…..?” tanya Bayaputih yang dalam pengembaraannya mengaku bernama Birawa.
“Dalam kisah itu, candi Prambanan belum ada, mungkin saja Ki Bekel ingin kisahnya runut…..! Besuk kita akan mengunjungi tempat yang dikisahkan tadi, reruntuhan keraton Baka yang menakjubkan, dan baru kemudian ke candi Prambanan dan candi Sewu…!” kata Lasa atau Wilapa yang pernah mengunjungi tempat candi Ratu Baka maupun candi Prambanan yang juga sering disebut candi Rara Jonggrang dan candi Sewu.
“Dari bukit Baka, kita besuk bisa membayangkan kisah yang diceritakan oleh Ki Bekel tadi…..!” imbuh Lasa.
“Tidak sabar aku ingin melihatnya…!”
kata Bayaputih.

Malam itu, Bayaputih dan Lasa pun bisa beristirahat dengan nyaman. Ki Bekel dan Nyi Bekel benar-benar menerima tamunya dengan sebaik-baiknya. Bayaputih kagum akan keramahtamahan Ki Bekel dan Nyi Bekel yang jarang ia temui di tanah kelahiran, tanah Palembang.
Pagi-pagi sekali, Bayaputih dan Lasa telah berbersih diri. Namun Ki Bekel telah lebih dahulu bangun dan telah duduk di emper depan dengan secangkir kopi.
“Ki Bekel sudah terbangun…..?” tanya Lasa berbasa-basi.
“Kebiasaan sejak dahulu, jika ayam berkokok, aku pun bangun dan kemudian berbersih diri. Minum kopi panas seperti ini menjadi kesukaan saya. Apakah kisanak Birawa dan kisanak Wilapa suka kopi….? Biarlah dibuatkan oleh Nyi Bekel…..!” kata Ki Bekel.
“Nyiii…..! buatkan kopi dua cangkir lagi…..! Yang istimewa, Nyi…..!” kata Ki Bekel sebelum Wilapa menjawab.

Matahari baru sepenggalah ketika Ki Bekel mengajak kedua tamunya untuk menuju ke candi Ratu Baka. Dari kabekelan Klurak, puncak bukit Baka terlihat jelas, namun dari arah belakang, jaraknya pun cukup dekat. Namun Ki Bekel ingin mengajak kedua tamunya lewat pintu depan walau menanjak.

Setelah bercerita tentang berbagai hal, kemudian Ki Bekel melanjutkan ceritanya.
“Sampai di manakah ceritanya tadi malam…..?” tanya Ki Bekel.
“Bandung Bandawasa mulai naik ke bukit Baka, Ki……!” kata Wilapa.
“Ooh ya….., aku lanjutkan……!” kata Ki Bekel.

Dengan mudah Bandung Bandawasa naik ke bukit Baka walau tidak lewat jalan yang semestinya. Ia mencoba menghindari bertemu dengan para prajurit. Bukannya karena ia takut ditangkap, tetapi ia takut jika harus membunuh orang lagi.
Raden Bandung Bandawasa dengan perlahan menuju ke gapura yang gagah dan megah serta terlihat kokoh dan kuat.
Sementara itu, dari batu datar di ketinggian, seorang gadis yang tinggi semampai serta paras yang elok ayu, terpana melihat seorang perjaka yang gagah dan tampan. Gadis itu adalah Rara Jonggrang, putri Prabu Baka.
“Heeem….., siapakah gerangan perjaka yang datang itu….? Diakah Bandung Bandawasa putra Pengging yang menantang ayahandanya Prabu Baka…..?” batin Rara Jonggrang.
“Aah…. tidak mungkin kalau dia, ia pasti sudah tewas di tangan ayahanda, atau paman Patih Gupala…..!” batin Rara Jonggrang yang belum tahu kejadian yang sebenarnya.
Rara Jonggrang memperhatikan langkah perjaka yang mendekati gapura itu.

Sementara itu, Raden Bandung Bandawasa sempat memandang ke arah barat, ia masih melihat kepulan asap di beberapa tempat di seberang kali Opak.
“Heeem…., semoga api cepat padam dan kebakaran tidak meluas…..!” batin Raden Bandung Bandawasa.
Raden Bandung Bandawasa kemudian melanjutkan langkahnya. Ia tertegun, karena merasakan ada sepasang mata yang memperhatikan. Dan ia menduga, yang memperhatikannya adalah seorang gadis. Namun Raden Bandung Bandawasa berpura-pura tidak tahu. Ia terus saja melangkah dengan tenang ke gapura yang ada pintu gerbangnya.
…………..
Bersambung……….

Petuah Simbah: “Watak seorang ksatria tidak takut berperang, namun takut jika harus membunuh orang.”
(@SUN)

St. Sunaryo

Pensiunan pegawai PT Telkom Indonesia. Sekarang bertempat tinggal di Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kunjungi website https://stsunaryo.com , ada yang baru setiap hari.

Learn More →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *