Ki Bekel berhenti sejenak dalam bercerita, ia ingin melanjutkan ceritanya ketika sudah sampai di area candi Prambanan dan reruntuhan candi Sewu. Ia ingin agar kedua tamunya itu bisa melihat secara nyata candi-candi yang diceritakan tadi.
“Baiklah Ki Bekel, pasti akan lebih menarik dengan melihat langsung wujudnya…..!” kata Birawa yang semakin penasaran karena belum pernah mendengar cerita itu.
Mereka, Ki Bekel, Birawa dan Wilapa telah sampai di area percandian Prambanan. Ki Bekel memilih tempat di bawah pohon nyamplung yang rimbun dan di bawahnya ada bebatuan datar yang bisa untuk duduk-duduk sambil berbincang. Batu-batu itu juga bekas reruntuhan candi yang belum dipugar. Dari tempat itu terlihat betapa indah dan agungnya candi Prambanan. Candi Sewu yang konon jumlahnya sembilan ratus sembilan puluh sembilan pun terlihat di hamparan yang luas. Namun sebagian besar candi-candi itu telah runtuh pula.
“Percandian inilah yang nanti akan aku ceritakan…..!” kata Ki Bekel Klurak setelah duduk di batu datar di bawah pohon nyamplung.
Dari tempat itu, gunung merapi terlihat menjulang tinggi. Lahar merah membara terlihat meleleh di sisi tenggara dari gunung itu. Kepulan awan putih tersapu angin ke arah timur, yang terlihat mirip ekor tupai yang panjang.
Tiba-tiba Wilapa bertanya kepada Ki Bekel.
“Mengapa kawasan percandian ini tidak tertutup lahar gunung Merapi ketika terjadi pralaya dahsyat yang pernah aku dengar. Padahal negeri Mataram zaman wangsa Sanjaya dan wangsa Sailendra telah terkubur sehingga pemerintahan beralih ke bagian timur pulau ini, Ki Bekel…..?”
“Ya memang benar, seluruh kademangan Prambanan selamat dari lahar gunung Merapi. Termasuk kabekelan Klurak tempat kami berada. Menurut perkiraan saya, karena adanya kali Opak di sebelah barat itu. Lahar gunung Merapi itu hanyut terbawa arus kali Opak yang deras, sehingga tak sempat menggapai area percandian tempat kita berada ini…..!” kata Ki Bekel.
Wilapa mengangguk-angguk seakan memahami kata-kata Ki Bekel.
Ki Bekel kemudian melanjutkan ceritanya.
Sebelumnya Rara Jonggrang telah mendesak Raden Bandung Bandawasa untuk mewujudkan permohonanya.
Raden Bandung Bandawasa kemudian menjawab, “Aku sanggupi dalam waktu satu tahun akan terwujud seribu candi…..!”
“Tidaak…..! satu tahun itu sangat lama…..!” dengan tegas dan keras Rara Jonggrang menolak.
“Dalam satu tahun itu, aku harus bisa membuat candi tiga buah dalam satu hari satu malam ….! Itu merupakan pekerjaan yang sangat berat…..!” dalih Raden Bandung Bandawasa.
“Tidak…..! Yang aku mau, andika harus bisa mewujudkan seribu candi itu dalam waktu satu malam….! Malam ini juga, semua harus sudah terwujud….!” tegas Rara Jonggrang.
“Gila…..! Itu adalah permohonan gila…..! Titah mana yang mampu mewujudkan permohonan gila ini…..! seribu candi dalam satu malam…..!” sanggah Raden Bandung Bandawasa.
“Terserah Raden, sanggup atau tidak. Jika tidak sanggup….! lekas pergi dari sini dan jangan pernah menginjakkan kaki di bumi negeri Baka….!” Akulah yang menggantikan sebagai Ratu Baka…..!” tantang Rara Jonggrang.
Merah padam muka dari Raden Bandung Bandawasa yang menahan amarah yang merasa direndahkan oleh seorang gadis yang membuat hatinya tergetar.
Namun tiba-tiba Raden Bandung Bandawasa teringat kepada gurunya yang telah memberi ajian yang mampu memanggil jin peri perahyangan. Namun ajian itu belum pernah ia pergunakan untuk hal seperti itu. Raden Bandung Bandawasa juga teringat dalam kisah Mahabarata, di mana Prabu Salya memiliki ajian Candabirawa yang mampu menggandakan jin peri perahyangan menjadi ribuan jumlahnya. Jin-jin itu pun mampu membantu dalam perang Baratayuda.
“Mengapa itu tidak saya coba…..?” batin Raden Bandung Bandawasa.
Tiba-tiba Raden Bandung Bandawasa berkata lantang yang membuat Rara Jonggrang terkejut.
“Baik…..! Aku sanggupi…..!
sekarang juga akan aku mulai…..! Sebelum matahari terlihat semburat merah, seribu candi telah terwujud….!” kata Raden Bandung Bandawasa.
………….
Bersambung………
Petuah Simbah: “Kadang yang mustahil itu bisa menjadi kenyataan.”
(@SUN)