Penerus Trah Prabu Brawijaya-Gendhuk Jinten-Part#86

gendhuk jinten

Inspirasi Pagi …….!!
(@SUN-aryo)

Penerus Trah Prabu Brawijaya.

Gendhuk Jinten.

Namun demikian, Ki Demang juga harus berhati-hati. Siapa tahu ada orang yang sedang berada di sekitar tempat itu, apapun keperluannya.
Beberapa saat Ki Demang duduk di akar pohon keluwih dengan berlindung pohon perdu di sekitarnya. Pendengarannya dan penglihatannya yang tajam tidak menangkap hal-hal yang mencurigakan.
Ki Demang segera mendekati batu sebesar kepala kerbau di bawah pohon nangka yang siang tadi ia lihat.
Dengan enteng Ki Demang mengangkat batu itu. Dan kemudian dengan cetok yang dibawa, ia segera mengorek tanah berpasir di bawah batu. Tidak terlalu dalam, Ki Demang telah meraba cupu tembikar seperti yang dikatakan oleh Ki Tanu. Dengan beberapa korekan cetok, cupu telah terlihat di keremangan malam. Cupu segera diambil oleh Ki Demang. Tanah dan batu segera dikembalikan seperti semula. Dan Ki Demang pun segera bergegas pulang. Namun Ki Demang berusaha untuk tidak bertemu dengan seorang pun agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Sementara itu, Nyi Demang menunggu kepulangan Ki Demang dengan sedikit gelisah. Semestinya, Ki Demang segera pulang jika telah berhasil menemukan cupu yang dikatakan oleh Ki Tanu. Nyi Demang merasa terlalu lama Ki Demang tidak segera kembali.
Namun, akhirnya yang ditunggu tiba di rumah juga.
“Ki Demang terlalu lama tidak segera pulang, membuat gelisah yang ada di rumah…..!” sapa Nyi Demang.
“Aku berbincang dahulu dengan yang berjaga di pondok Ki Tanu…..! Ini cupu yang dimaksud…..! Kita lihat bareng, apa isinya….!” kata Ki Demang.
Nyi Demang terbelalak, hampir tak percaya. Isi cupu telah dituangkan di atas meja. Isinya mas inten berlian dan uang emas yang tentu sangat mahal harganya.
“Wuaooohc……!” seru Nyi Demang.
Kemudian ia melanjutkan; “harta ini bisa untuk tujuh turunan, Ki……!”
“Pantes…..! Ki Tanu adalah menantu raja, yang tentu putra bangsawan pula…..! Ia pernah menyebutkan bahwa nama aslinya adalah Raden Tanu Teja…..!” kata Ki Demang.
“Dan Gendhuk Jinten adalah cucu raja gung binatara….!” sahut Nyi Demang.
“Jangan katakan kepada siapapun tentang jati diri mereka, Nyi…..! hanya kita berdua saja yang tahu….! Jangan panggil pula Gendhuk Jinten dengan nama aslinya, Nimas Rara Dyah Mayangsari…..!” lanjut Ki Demang.
Ki Demang terkejut, karena Nyi Demang justru matanya berkaca-kaca. Ia mungkin trenyuh kepada Gendhuk Jinten yang seorang cucu raja, namun harus terlunta-lunta sampai di kademangan Pengging ini.
“Siapa pun ayahnya, namun bayi yang dikandung oleh Gendhuk Jinten adalah trah kusuma rembesing madu, Nyi…..!” Kata Ki Demang.
“Ia akan menjadi cucu kita, Ki…..!” kata Nyi Demang.
“Yaaa….! Ia nanti yang berhak mewarisi kademangan ini…..!” kata Ki Demang.
“Yaaa…., kita rela…..! harta ini bisa pula untuk memajukan kademangan Pengging ini….!” lanjut Nyi Demang.
“Ke manakah Ki Tanu pergi, aku juga tidak mengerti…..! Bisa saja tiba-tiba ia kembali…..!” lanjut Ki Demang.

Sementara itu, Gendhuk Jinten tak segera dapat tertidur. Bagaimana pun juga kegelisahan tak bisa ditepisnya. Ini adalah malam pertama kali ia tanpa sang ayah. Seorang ayah yang sangat ia hormati dan kagumi. Walau ia telah ditemani oleh Mbok Dukun dan seorang pembantu, dan di luar ada yang berjaga, namun kekosongan hati tak bisa dipungkiri.
Tak disadarinya, air mata Gendhuk Jinten kembali bercucuran. Namun ia bertahan sekuat tenaga agar tidak sampai menangis sesenggukan. Jika ia sampai menangis, tentu akan menggangu ketenangan pondok ini.
Terlintas di benak untuk melihat di bawah kolong amben kamar ayahnya yang dikatakan oleh ayahnya di dalam suratnya ada sebuah cupu tembikar. Namun Gendhuk Jinten mengurungkan niatnya. Ia belum berani masuk ke kamar ayahnya, karena ia pasti akan bertambah bersedih teringat ayahnya itu.
Tak disadari oleh Gendhuk Jinten, ia justru melangkahkan kakinya ke sanggar pamujan yang biasa digunakan oleh sang ayah untuk puja puji kepada Hyang Maha Agung. Ia tak tahu apa yang mesti ia lakukan. Ia hanya duduk tepekur di sanggar yang sederhana itu. Namun tanpa disadarinya, ia tertidur pulas.
…………
Bersambung……….

Petuah Simbah: “Jika kegelisahan melanda hati, bersandarlah kepada Sang Ilahi.”

**Kunjungi web saya St. sunaryo.
Di https://stsunaryo.com
Ada yang baru setiap hari.

St. Sunaryo

Pensiunan pegawai PT Telkom Indonesia. Sekarang bertempat tinggal di Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kunjungi website https://stsunaryo.com , ada yang baru setiap hari.

Learn More →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *