Penerus Trah Prabu Brawijaya-Ki Ageng Pengging-Part#147

penerus trah prabu brawijaya

Inspirasi Pagi …….!!
(@SUN-aryo)

Penerus Trah Prabu Brawijaya.
Ki Ageng Pengging Anom.

Senopati Lembu Sena terkejut namun juga senang karena ia bisa berjumpa dengan seorang senopati Demak yang telah kondang.
“Nama senopati Lo Bandang akan menggetarkan setiap lawan, nama yang telah kondang…..!” kata senopati Lembu Sena.
“Itu terlalu berlebihan, aku tidak sebanding dengan senopati Lembu Sena yang telah kaloka itu…..!” kata senopati Lo Bandang memuji lawan.
“Marilah kita buktikan dalam pertempuran, namun kita tidak diharuskan untuk berperang tanding karena yang bertempur adalah pasukan…….!” kata senopati Lembu Sena.
“Baiklah….., kita membela kebenaran kita masing-masing…..!” jawab senopati Lo Bandang.
Pertarungan segera berlangsung, masing-masing bersenjatakan tameng dan pedang.
Senopati Lembu Sena yang gagah tinggi besar melawan senopati Lo Bandang yang sedikit lebih tinggi namun lebih ramping.
Ayunan pedang senopati Lembu Sena mendesing-desing kuat. Jika pedang itu menghantam tameng secara langsung, bisa jadi tameng itu akan jebol. Hal itu disadari oleh senopati Lo Bandang. Ia tidak mau menangkis pedang lawan itu secara langsung, namun sekedar memelesetkan arah tebasan. Senopati Lembu Sena yang kuat melawan senopati Lo Bandang yang lincah.
Senopati Lembu Sena tak banyak bergerak. Ia lebih banyak menunggu serangan lawan. Dan ia berusaha untuk beradu senjata. Senjata pedang senopati Lembu Sena lebih besar dan lebih panjang dibanding senjata pedang milik senopati Lo Bandang. Ia yakin jika kedua pedang sempat beradu secara langsung, pedang milik senopati Lo Bandang akan terpental atau bahkan patah bilahnya. Namun itu juga disadari oleh senopati Lo Bandang, oleh karena itu, ia juga berusaha untuk hanya memelesetkan arah ayunan pedang lawan.
Senopati Lo Bandang bergerak lincah mengitari lawannya.
Dalam pada itu, pertempuran di sayap gelar itu telah berkobar. Teriakan dan denting senjata beradu memecah keheningan hutan yang tidak padat tetumbuhan itu.
Darah mulai menetes membasahi rerumputan liar. Bahkan ada beberapa prajurit yang telah terkapar berkalang tanah dari kedua belah pihak.
Burung-burung pun beterbangan menjauh dari area pertempuran. Jika mereka bisa berpikir, mungkin heran mengapa manusia saling bertarung bertaruh nyawa.
Lutung dan monyet memilih memanjat pohon yang tinggi khawatir terkena sabetan pedang orang-orang yang sedang berperang. Mereka, para monyet itu seakan menyaksikan pertunjukan yang belum pernah mereka sansikan. Jika mereka bisa berpikir, mungkin akan berkata; ternyata manusia lebih kejam dari sebangsa mereka.

Sementara itu, di sayap yang lain, Adipati Lasem yang telah setengah baya berhadapan dengan senopati Glagah Curing yang berperawakan tinggi bagai sebatang gelagah.
Adipati Lasem bersenjatakan canggah, sebuah tombak yang bermata dua. Bahkan, canggah Adipati Lasem berbeda dengan canggah pada umumnya. Canggah itu di pangkal dan ujungnya sama, sama-sama bermata dua. Lebih berbeda lagi dengan canggah kebanyakan, karena mata canggah itu ada semacam kait seperti kail pemancing.
Keuntungan dari tombak bermata dua itu ialah, bisa untuk menyerang, namun juga bisa untuk bertahan. Bahkan tombak bercabang yang ada kait kail pancing itu bisa juga untuk mengait senjata lawan. Jika ditarik sendal pancing, senjata lawan akan mudah terlepas dari tangannya.
Lawannya, senopati Glagah Curing bersenjatakan pisau belati panjang yang rangkap di tangan kanan dan tangan kiri. Sepasang senjata yang memungkinkan pemegangnya bisa bertahan dan menyerang secara bersamaan. Jika pisau belati di tangan kanan menyerang lawan, maka pisau belati di tangan kiri akan melindungi dirinya.
Demikianlah yang terjadi, pisau belati rangkap di tangan senopati Glagah Curing saling bergantian untuk menyerang maupun bertahan. Namun yang dihadapi adalah senopati Adipati Lasem yang kaya pengalaman. Ujung dan pangkal canggah saling bergantian untuk bertahan dan menyerang pula.
……………….
Bersambung…………

Petuah Simbah: “Walau masing-masing berpegang pada kebenaran, namun peperangan terjadi juga, karena kebenaran di satu pihak dianggap sebagai kekeliruan di pihak lain.”
(@SUN)

**Kunjungi stsunaryo.com
Ada yang baru setiap hari.

St. Sunaryo

Pensiunan pegawai PT Telkom Indonesia. Sekarang bertempat tinggal di Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kunjungi website https://stsunaryo.com , ada yang baru setiap hari.

Learn More →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *