Penerus Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
407
Jaka Tingkir.
Seri Danang Sutawijaya.
Untuk beberapa saat kedua petualang setengah baya itu berbincang di pelataran candi Sari. Mereka kagum akan keanggunan candi yang tidak terlalu besar itu.
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan. Perjalanan baru sedikit ke arah barat, mereka telah sampai di candi Kalasan. Candi yang berada di pinggir jalan itu cukup terawat. Seperti halnya candi Sari, candi Kalasan juga ada sebagian kecil pojok atas yang runtuh. Runtuhnya sebagai candi itu kemungkinan juga akibat lindu yang terjadi di masa lalu.
Mereka berdua berkeliling mengitari candi itu.
“Sungguh karya yang agung dari para leluhur, nenek moyang kita, Kakang…..!” Gumam Ki Pemanahan.
“Benar…..! Kita dan anak cucu kita wajib untuk melestarikannya….!” Sahut Ki Ageng Giring.
Mereka berdua tidak beristirahat di candi Kalasan karena baru saja beristirahat cukup lama di candi Sari.
Sambil berjalan mereka masih berbincang tentang kekaguman akan bangunan-bangunan candi yang begitu indah dan agung.
Bagaimana mungkin batu-batu besar terukir indah itu bisa tertata kokoh kuat menjulang tinggi. Sedangkan dua puluh orang kebanyakan pun tak akan mampu mengangkat satu potong batu yang sebesar kerbau.
Mereka juga mengagumi candi Prambanan yang sudah sering mereka kunjungi sebelumnya. Karena di candi itu terdapat ribuan candi yang mengelilingi candi induk yang sangat indah dan menjulang tinggi.
Perjalanan semakin ke arah barat, orang yang berlalu lalang semakin jarang.
“Di manakah biasanya para pengawal perjalanan itu berkumpul….?” Bertanya Ki Pemanahan.
“Kita nanti akan lewat Puwatu dan sedikit ke arah barat ada dusun Grogol. Di tempat itu merupakan tempat pemberhentian kuda, kereta atau gerobak dan mereka yang akan menyeberangi Alas Tambakbaya dan sungai Tambakbaya….!” Berkata Ki Ageng Giring.
“Di depan itu sepertinya ada gerobak, apakah juga akan ikut menyeberang Alas Tambakbaya…..?” Bertanya Ki Pemanahan lagi.
“Aku tidak tahu, nanti setelah sampai di Grogol kita akan tahu…..!” Jawab Ki Ageng Giring.
Sementara itu di pojok dusun Grogol telah berkumpul beberapa orang. Juga ada dua buah gerobak serta tiga sebuah kereta kuda. Ada pula lima ekor kuda tertambat di tepi jalan.
Ki Pemanahan sedikit terkejut karena telah berkumpul banyak orang. Mereka tentu yang akan ikut menyeberang Alas Tambakbaya. Ia sama sekali tidak mengira orang sebanyak ini yang akan bersama-sama menyeberang. Di antara mereka juga terdapat para wanita tua muda. Bahkan ada pula dua tiga orang wanita muda yang berparas cantik walau mereka berdandan amat sederhana.
“Apakah Paman juga akan ikut menyeberang bersama kami…..?” Tiba-tiba seseorang bertanya kepada Ki Ageng Giring dan Ki Pemanahan. Mungkin ia adalah salah seorang dari para pengawal.
“Benar kisanak…..! Kami berdua tentu tidak berani menyeberang tanpa pengawalan…..!” Jawab Ki Ageng Giring tidak jujur.
“Ada upah yang harus dipenuhi sebelum berangkat…..!” Lanjut dari pengawal itu.
“Tentu kami tidak berkeberatan….!” Jawab Ki Ageng Giring.
“Akan ke mana-kah Paman berdua…..?” Bertanya lagi orang itu.
“Kami akan ke Menoreh…..!” Jawab Ki Ageng Giring walau sesungguhnya mereka berdua tidak akan menyeberang kali Progo.
“Kami hanya mengawal kalian sampai di Karangwaru. Untuk selanjutnya perjalanan di tanggung sendiri…..!” Lanjut orang yang sesungguhnya salah satu dari para pengawal.
“Baiklah, tidak apa-apa. Dikawal sampai Karangwaru kami sudah berterima kasih…..!” Jawab Ki Ageng Giring.
“Matahari telah jauh condong ke barat, kita harus bermalam di sekitar tempat ini. Besuk sebelum matahari semburat merah kita sudah harus siap berangkat bersama-sama…..!” Berkata salah seorang pengawal perjalanan yang lain.
Mereka pun tidak berkeberatan jika harus bermalam di dusun Grogol itu. Mereka menyadari tentu sangat berbahaya jika harus ditempuh di malam hari.
…………..
Bersambung………..
(@SUN)
**Kunjungi web kami di Google.
Ketik; stsunaryo.com
Ada yang baru setiap hari.