Penerus Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
419
Jaka Tingkir.
Seri Danang Sutawijaya.
Perjalanan Ki Tunggulwulung beserta rombongan itu sudah berlangsung puluhan tahun sebelum pengembaraan Ki Pemanahan dan Ki Ageng Giring di masa tuanya.
Perjalanan yang sangat jauh demi menghindari kejaran prajurit Demak untuk menyelamatkan pusaka-pusaka keraton Majapahit. Pusaka-pusaka yang berupa tombak, keris dan pataka.
Rombongan yang terhitung besar dan terdiri dari beberapa lelaki itu membuat para pembegal berpikir ulang untuk menyerang mereka.
Arah perjalanan mereka selalu menuju ke arah matahari terbenam.
Walau sangat lambat, namun sampai juga di tepi sungai Progo. Sungai yang airnya keruh berlumpur itu sedang banjir, sehingga rombongan Ki Tunggulwulung tidak bisa menyeberang. Mereka kemudian berkemah di dusun itu, dusun Timoho. Di tempat itu mereka merasa ayem dan aman. Beberapa hari sungai Progo tidak surut, sehingga mereka tertahan di tempat itu.
“Tempat ini sepertinya cocok untuk kita tinggali. Tanahnya subur dan hampir mustahil prajurit Demak akan sampai tempat ini….!” Berkata Ki Tunggulwulung.
“Benar Ki……! Aku setuju, kita tidak perlu menyeberangi sungai itu…..!” Jawab Nyi Gadung Mlati yang juga Nyi Tunggulwulung.
“Jika demikian, mintalah Ki Purworejo dan Nyi Dakiyah untuk menemui tetua dusun agar kita diperkenankan tinggal di tempat ini…..!” Pinta Ki Tunggulwulung.
Ki Purworeja merupakan kepercayaan dari Ki Tunggulwulung, sedangkan Nyi Dakiyah adalah kepercayaan Nyi Gadung Mlati.
Ki Resa, tetua dusun Timoho tentu saja senang sekali jika para pengungsi itu bersedia bertempat tinggal di tempat itu. Dusun mereka akan menjadi semakin reja.
Kehadiran para pengungsi dari Majapahit tersebut benar-benar bisa memajukan dusun Timoho. Mereka, orang-orang dari keraton tersebut berwawasan lebih luas. Mereka pun tak segan menjadi seorang petani. Ada pula yang mengajarkan kepada warga dusun itu cara membuat tikar pandan. Ada juga yang mengajarkan membuat besek dan anyaman dari bambu lainnya. Ki Purworeja dan Ki Suteja mengajarkan kepada para warga dusun Timoho itu melantunkan tembang macapat. Sedangkan Nyi Dakiyah adalah salah seorang penari keraton Majapahit saat itu. Ia kemudian mengajarkan tari kepada gadis-gadis dusun Timoho. Walau hanya dengan iringan tepuk tangan dan bunyi mulut, namun tarian yang diajarkan oleh Nyi Dakiyah sangat menyenangkan.
Dengan kehadiran para pengungsi dari Majapahit tersebut, dusun Timoho sungguh menjadi hidup. Banyak warga dusun lain yang ingin belajar berbagai ketrampilan di dusun Timoho tersebut.
Bahkan, Ki Purworeja dan Ki Suteja kemudian memprakarsai pembuatan sebuah sendang tak jauh dari dusun Timoho. Di dusun Beji ada mata air yang tak pernah mengering. Air yang mengalir itu sebelumnya terbuang percuma ke sungai Progo. Air yang bening itu kemudian ditambak sehingga menjadi sebuah sendang yang indah. Sendang itu kemudian disebut Sendang Beji. Banyak warga dari berbagai dusun mandi dan bercengkrama di sendang tersebut. Dusun di sekitar Sendang Beji kemudian menjadi berkembang pula.
Ki Tunggulwulung untuk sementara tetap menyembunyikan pusaka-pusaka Majapahit yang ia selamatkan. Tombak, keris dan pataka untuk sementara ia pendam di tempat yang aman. Ia belum tahu pusaka-pusaka tersebut akan diserahkan kepada siapa. Namun ia ingat pesan dari Prabu Brawijaya dahulu agar pusaka-pusaka itu diserahkan kembali kepada trah Majapahit yang berbudi luhur. Namun sampai beberapa lama ia belum menemukan sosok tersebut.
Ki Tunggulwulung ketika masih kuat sering meninggalkan dusun Timoho untuk mencari khabar tentang perkembangan pemerintahan. Bahkan ia pernah sampai ke Tidar maupun Prambanan. Ia sedikit banyak kemudian tahu perkembangan pemerintah di Demak, Jipang dan kemudian Pajang.
Kini usia Ki Tunggulwulung sudah semakin renta. Ia sudah tidak mungkin untuk berkelana lagi. Ia belum sempat menyerahkan pusaka-pusaka itu kepada seseorang yang layak menerimanya.
…………….
Bersambung…………
**Kunjungi web kami di Google.
Ketik; stsunaryo.com
Ada yang baru setiap hari.