Penerus Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
457
Jaka Tingkir.
Seri Danang Sutawijaya.
Dengan cepat nama Mataram bergema di sekitar beringin tua itu. Sedianya Ki Pemanahan akan merahasiakan nama Mataram itu. Namun ternyata ada yang telah mendengar pembicaraan Ki Pemanahan, Ki Demang Karanglo dan Mas Danang Sutawijaya.
“Mataram…., Mataram….., Mataram….!”
Nama itu bergema diucapkan oleh hampir semua orang.
Bahkan di dapur bergeremang menyebut nama Matraman.
“Mataram itu artinya apa Yu…..?” Bertanya salah seorang perempuan di dapur.
“Ya embuh……! Aku juga tidak tahu….! Besuk pasti dijelaskan oleh Ki Pemanahan…..!” Jawab kawannya.
Sore itu juga dua orang telah berkuda ke Papringan.
Ki Ageng Giring menyambut gembira menerima kabar dari dua orang utusan itu. Utusan itu telah menyampaikan pesan dari Ki Pemanahan.
“Mataram….., Mataram…..! Nunggak semi dengan nama Mataram yang terdahulu…..!” Gumam Ki Ageng Giring.
Mereka yang berada di barak itupun bergembira setelah menerima pemberitahuan dari Ki Ageng Giring.
“Mataram….., Mataram….., Mataram….., Mataram……!” Bergema di barak itu.
Mereka juga bergembira karena esok hari akan diadakan syukuran atas pemberian nama di sebelah barat Wiyara itu dengan nama Mataram.
Saat yang tepat setelah beberapa pekan mereka tidak beristirahat.
Hari esok akan dijadikan hari pesta syukuran dan tidak ada pelaksanaan kerja, mereka bisa beristirahat. Mereka yang ada di Papringan semua akan datang ke pohon beringin tua. Besuk mereka tidak melingkar jauh, tetapi akan lewat menerobos hutan yang kemarin dilewati oleh Ki Ageng Giring dan beberapa orang. Jaraknya akan menjadi lebih dekat.
Yang di sekitar beringin tua juga sudah mempersiapkan pembuatan panggung di bawah pohon beringin tua. Panggung tempat sesorah para petinggi esok hari.
Di sekitar beringin tua itu juga disapu bersih. Ranting-ranting yang masih terlalu rendah dipangkas pula.
Di dapur juga sudah mulai kesibukan yang tidak seperti biasanya.
“Besuk harus dibuat tumpeng besar dengan ingkung dan segala uba rampe-nya ……!” Berkata Nyai Pemanahan.
“Baik Nyai……!” Berkata wanita di samping Nyai Pemanahan.
“Nanti malam akan datang kiriman ayam dari Karanglo…..!” Berkata ibu yang lain.
“Semua dimasak ingkung saja……!” Usul seorang ibu.
“Ada berapa orang yang ada di sini dan yang ada di Papringan…..?” Bertanya Nyai Pemanahan.
“Yang ada di sini sekitar tiga ratusan, sedangkan yang ada di Papringan ada sekitar dua ratusan…..!” Berkata seorang ibu yang pernah mendengar pembicaraan Ki Demang Karanglo.
“Yaaa….., berarti limaratus lebih…..!” Berkata Nyai Pemanahan.
“Memotong delapan puluh ekor ayam kami kira sudah cukup…..!” Berkata ibu yang lain lagi.
“Sebaiknya ditambah, Nyai. Dari pada nanti kurang……!” Usul wanita yang lain.
Mereka mulai sibuk mempersiapkan pembuatan tumpeng beserta uba rampe pada sore itu.
Pada malam itu, hampir semua memperbincangkan rencana esok hari, baik yang ada di sekitar beringin tua itu atau yang berada di Papringan.
Rencana esok hari memang terlalu pagi agar yang berada di Papringan tidak tergesa-gesa. Rencananya menjelang siang baru akan dimulai.
Sementara itu, Ki Juru Martani dan para pengiringnya telah berangkat dari kepatihan sejak pagi-pagi benar. Mereka memang sengaja menghindari kotaraja mulai ramai. Dengan demikian akan sedikit mengurangi pertanyaan orang-orang yang tahu.
Tiga buah kereta kuda dan lima ekor kuda. Dua orang yang merupakan prajurit pengawal kepatihan diminta untuk mendahului rombongan dengan menunggang kuda.
Tiga buah kereta itu telah berderap meninggalkan kepatihan. Salah satu kereta penuh dengan muatan. Sedangkan yang dua kereta penuh dengan penumpang yang di sela-sela-nya juga penuh perbekalan. Kereta berjalan sedang, karena akan menempuh perjalanan panjang. Dua ekor kuda mengiringi, kadang di depan dan kadang di belakang kereta itu.
………………
Bersambung………….
(@SUN)