Gendhuk Jinten senang ketika sampai di pasar, pasar cukup ramai karena pas hari pasaran, Legi. Mereka berkeliling pasar untuk melihat-lihat barang keperluan yang dibutuhkan untuk sebuah rumah tangga. Yang pertama dibeli oleh Ki Tanu adalah tikar pandan serta bantal kapuk randu. Gendhuk Jinten juga minta beberapa perabot dapur yang diperlukan.
Ki Tanu tertarik dengan penjual aneka bibit tanaman buah. Ada bibit durian, bibit nangka, bibit sawo, bibit sukun, bibit keluwih, bibit jambu dan masih beberapa lagi.
Ki Tanu sejenak memperhatikan para pembeli untuk mengetahui berapa harga rata-rata untuk bibit itu.
Setelah mengetahui, ia pun menawar seperti para pembeli yang lain. Tentu saja si penjual tak bisa menaikan harga karena tahu bahwa calon pembelinya itu menyaksikan pembayaran sebelumnya.
“Paman, bagaimana jika semua bibit ini aku beli dengan harga seperti para pembeli sebelumnya….?” kata Ki Tanu.
“Haaa……! Dibeli semua…..?” kata si penjual itu heran.
“Benar Paman, daripada saya wira-wiri ke pasar, mending sekalian saja. Saya ada lahan kosong yang belum ada tanamannya….!” kata Ki Tanu.
“Tentu saya senang sekali kisanak, ini hari keberuntunganku, bisa untuk berobat istriku….!” kata si penjual.
“Tetapi Paman mesti mengantarkan ke pondok kami….!” kata Ki Tanu.
“Dengan senang hati akan saya antar dengan gerobak dorong ini…..!”
Setelah terjadi kesepakatan, Ki Tanu kemudian membayar separuhnya dahulu, sedangkan sisanya akan dibayarkan di pondok.
Ki Tanu pun kemudian memberi anca-ancar tempat tinggal yang mesti dituju. Tempat yang tidak terlalu jauh dari pasar itu.
“Tidak usah tergesa-gesa, karena kami akan sarapan dahulu….! Atau nanti berjalan bersama kami saja….!” tawaran Ki Tanu.
“Baiklah, nanti kita bersama-sama, bibit pohon ini akan saya masukan gerobak dorong ini…..!” kata si penjual.
Ki Tanu kemudian mengajak Gendhuk Jinten untuk sarapan di warung di luar pasar.
Sementara itu si penjual bibit pohon buah dengan gembira segera berkemas untuk mengantarkan bibit buah yang telah diborong itu ke pondok Ki Tanu.
“Hee Kang…..! masih pagi kok sudah mau pulang….! Kau harus bayar keamanan dahulu…..!” kata seseorang yang berwajah seram.
“Ya, pasti aku bayar….!” kata si penjual.
Si penjual segera mengeluarkan kampil wadah uang dan kemudian membayarnya.
“Heee…..! Uangmu banyak….! boleh aku pinjam…..?” kata orang berwajah seram yang mengangkat dirinya sebagai petugas keamanan itu.
“Maaf, Lurahe…..! Ini akan aku pergunakan untuk berobat istriku…..!”
“Tentu tidak semua…..! Separuh saja sudah cukup…..!” desak Lurahe.
“Maaf Lurahe…..! Istriku benar-benar sakit keras…..!” iba si penjual.
“Besuk mau jualan atau tidak…..!” bentak orang yang dipanggil Lurahe itu.
Terdengar ribut-ribut, beberapa orang kemudian merubung keduanya. Mereka tahu bahwa Lurahe pasar itu tak akan pernah mengembalikan uang pinjaman kepada siapapun.
“Ayo separuh saja…..! Atau aku paksa aku rebut semua…..?” bentak Lurahe.
“Aku sudah membayar uang keamanan, seharusnya dilindungi, bukan malah seperti ini…..!” dalih si penjual.
“Itu lain soal, jika ada yang mengganggumu, ia akan aku bantai di sini…..! Sekarang aku mau pinjam, tetapi kau keras kepala….!” bentak Lurahe.
“Ayo serahkan kampil uang itu….! atau aku patahkan lehermu…..!” ancam Lurahe dengan marah.
Orang-orang semakin banyak yang merubung, namun mereka tidak berani berbuat sesuatu karena tahu bahwa Lurahe itu menurut cerita adalah orang berilmu. Dan ia pun akan tega kepada siapa saja yang menentang kemauannya.
Dahulu pernah diperingatkan oleh Ki Jagabaya, dan menjadi sedikit reda kelakuannya. Tetapi kini ia kumat lagi. Ia mengira akan mudah memeras si penjual bibit pohon buah itu.
“Ayo serahkan….! Cepat sebelum hilang kesabaranku…..!” bentak orang yang dipanggil Lurahe itu.
Hampir semua orang terkejut ketika tiba-tiba ada seseorang yang menjawab bentakan Lurahe itu.
“Jangan memaksakan kehendak terhadap orang lain….!” kata orang itu dengan suara berat dan berwibawa.
“Siapa kau…..!” bentak Lurahe.
…………
Bersambung……..
Petuah Simbah: “Ada pepatah lama yang berbunyi; pagar makan tanaman.”
(@SUN)