Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1050
Mataram.
Ki Ageng Mangir
Wanabaya.
Namun akhirnya pertunjukan di pendapa kedaton berakhir juga.
Namun tiba-tiba terdengar bende bertalu-talu dari arah alun-alun. Para penonton di pendapa yang bukan undangan segera berlarian ke alun-alun. Mereka telah tahu bahwa di alun-alun akan dilangsungkan pertunjukan kuda kepang. Dan suara bende bertalu-talu tersebut sebagai tanda bahwa pertunjukan segera dimulai.
Sang mempelai pun telah turun dari dampar pengantin dan masuk ke dalam bangsal.
Para sinoman – yakni para pramuladi beriringan menyajikan minuman dan aneka hidangan. Karena semuanya sudah dipersiapkan, maka penyajian berjalan dengan lancar. Mereka menikmati hidangan sambil bercengkerama. Hampir semuanya, mereka sudah saling mengenal. Namun yang paling banyak diperbincangkan tentu saja kecantikan mempelai wanita. Walau ia adalah seorang penari teledek yang mbarang dari dusun ke dusun, namun sungguh berbeda dengan penari teledek pada umumnya. Mereka tidak ada yang tahu bahwa sesungguhnya sang mempelai wanita adalah putri Kanjeng Panembahan Senopati di Mataram. Bahkan Ki Ageng Mangir Wanabaya sendiri pun tidak tahu.
Sementara itu, di alun-alun benar-benar telah berjubel pula para penonton. Beruntung, di alun-alun telah dibuatkan arena pertunjukan di empat sudutnya. Semula hanya ada tiga arena, namun kemudian dilengkapi menjadi empat arena. Semua arena itu untuk pertunjukan kuda kepang dari kelompok yang berbeda.
Hampir bersamaan para pemain dari keempat kelompok tersebut telah memulai pertunjukan.
Di sudut tenggara semua pemainnya laki-laki. Di sudut barat laut semua pemainnya wanita. Di sudut timur laut pemainnya juga semua lelaki. Sedangkan di barat daya pemainnya ada pria dan ada wanita. Masing-masing kelompok memiliki kekhasan yang berbeda. Para penari wanita lebih mengutamakan kelembutan namun indah ditonton. Para penari pria lebih menonjolkan kegagahan dan permainan cemeti. Di kelompok ini dilengkapi dengan barongan. Barongan Caplokan dengan kepala hewan buas, namun mulutnya yang besar terbuat dari papan kayu. Rahang atas dan bawah datar sehingga ketika ditelangkupkan dengan keras akan menimbulkan suara yang memekakkan telinga. Suara hentakan keras yang seirama dengan gamelan pengiring itu yang memancing para penonton untuk melihat. Arena itu pun segera dipenuhi oleh para penonton.
Di sudut yang lain, para penonton bergelak tawa oleh ulah kocak Pentul dan Bejer. Tarian yang lucu dan kadang menggoda para wanita membuat terkekeh-kekeh para penonton. Sedangkan yang digoda menjerit-jerit namun sambil tertawa-tawa.
Di sudut yang lain, suara cemeti meledak memekakkan telinga. Namun itulah yang mengundang para penonton. Semua pemainnya dengan dandanan kumis yang tebal melintang di bawah hidung. Sedangkan pupur wajahnya berwarna merah sehingga terlihat sangar.
Di sudut barat daya berbeda lagi. Para pemainnya berjumlah enam orang bersenjatakan pedang. Mereka bermain perang-perangan. Beradunya pedang besi berdenting memekakkan telinga. Sedangkan tambahan pemainnya adalah Barongan Singa yang dimainkan oleh dua orang. Yang seorang sebagai kaki bagian depan dan tangannya memegang topeng kepala singa yang garang. Sedangkan yang seorang sebagai tubuh dan kaki bagian belakang. Tubuh kedua orang itu tertutup oleh dandanan tubuh singa. Barongan Singa Barong tersebut menarik perhatian para penonton.
Walau arena itu telah dibagi menjadi empat tempat, namun semuanya berjubel oleh para penonton. Tetapi banyak juga yang hilir mudik dari satu arena ke arena yang lain.
Tak kalah bergembiranya adalah para bakul minuman dan makanan. Mereka kelarisan jauh dari yang mereka perkiraan. Tak heran karena di siang menjelang sore yang terik itu tentu membuat haus dan lapar.
Bahkan penjual wedang camcau harus mengambil lagi bahan minuman ke rumahnya.
……….
Bersambung……..
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.
