Trah Prabu Brawijaya.
Seri 1202
Mataram.
Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Ya benar, Pangeran Martapura memang sedang dipingit, tidak diperbolehkan keluar dari bangsal. Para prajurit diperintahkan untuk berjaga dengan ketat agar Pangeran Martapura tidak keluar dari bangsal. Pintu-pintu pun digembok kuat dan dijaga oleh beberapa prajurit. Pangeran Martapura memang sama sekali tidak berilmu. Dan bahkan seorang yang tuna grahita sehingga tidak memiliki kemampuan untuk bisa memaksa keluar. Ia hanya bisa uring-uringan dan mengeluh yang tidak jelas. Dan bahkan, busana kasatrian yang bagus dan penuh perhiasan emas telah ia campakkan begitu saja di lantai. Mungkin ia merasa gerah dengan pakaian yang harus tapi yang tadi telah ia kenakan. Ia memang terbiasa dengan pakaian seadanya. Bahkan kadang dengan pakaian yang tidak layak sebagai seorang putra raja. Namun ia dibiarkan saja asal tidak berbuat ulah yang merepotkan banyak orang. Toh tampilnya Pangeran Martapura masih beberapa waktu lagi. Jika Pangeran Martapura muncul sejak awal, pasti akan menjadi tontonan yang tidak menyenangkan banyak orang. Dan bahkan menjadi bahan olok-olok.
Dalam pada itu, yang tidak sabar untuk segera tampil adalah Garwa Selir. Ia mondar-mandir di bangsal kaputren. Ia memang akan muncul ketika menjelang dimulainya tata upacara penghormatan terakhir jasad dari Sinuhun Hanyakrawati. Ia membayangkan, nanti semua orang yang melihat pasti akan ternganga dan takjub dengan busana dan perhiasan yang dikenakannya. Siapa pun pasti belum pernah menyaksikan orang dengan dandanan dan busana serta perhiasan seperti yang ia kenakan ini. Ratu Kencana Wungu dari Majapahit dahulu pun pasti tidak. Bagi Garwa Selir, matahari rasanya lambat sekali berjalan. Dan mengapa pula Ki Tumenggung Mandurareja tidak segera memberi isyarat agar ia segera tampil.
Ketika matahari lewat sepenggalah, pendapa keraton Mataram dan sekitarnya telah dipenuhi para pelayat. Bahkan telah meluber ke alun-alun. Para bupati dan nayaka praja pengiringnya dari berbagai penjuru telah pula hadir. Adipati Pajang Pangeran Gagak Baning yang didampingi oleh dua orang murid bercambuk dan para nayaka praja yang lain. Demikian pula senopati utama dari pasukan prajurit di Jatinom bersama para senopati lainnya. Hadir pula Ki Tambakbaya putra Ki Ageng Giring dari pegunungan Sewu. Hadir pula para demang dan para bekel di sekitar Mataram beserta para perangkatnya. Tak heran jika kemudian di tempat teduh di seputar alun-alun dipenuhi oleh para pelayat.
Demikian pula Dyah Banowati sang permaisuri yang didampingi oleh Raden Mas Rangsang dan para kerabat keraton Mataram serta para tumenggung dan nayaka praja telah berada di pendapa keraton pula. Juga para senopati dan lurah prajurit berada pula di pendapa keraton dan sekitarnya. Yang belum tampak adalah Garwa Selir. Ia masih menunggu Ki Tumenggung Mandurareja memberi isyarat. Garwa Selir semakin gelisah, jangan-jangan Ki Mandurareja lupa memberitahukan kepadanya. Jika ia tampil pasti akan menjadi pusat perhatian dengan penuh kekaguman. Apalagi jika mereka kemudian tahu bahwa ia akan menjadi ibu suri dari raja Mataram yang baru. Dan dialah yang akan menjadi ratu yang sesungguhnya, mewakili putrajaya, Pangeran Martapura yang tetap menjadi raja dalam segala kekurangannya. Angan Garwa Selir membubung tinggi.
Namun yang hadir kemudian adalah Ki Patih Mandaraka yang sudah sepuh dengan berjalan tertatih-tatih. Ki Patih Mandaraka yang sebelumnya disebut Ki Juru Martani itu memang sudah sepuh yang sesungguhnya. Ia adalah kakak ipar dari Ki Gede Pemanahan – ayahanda dari Panembahan Senopati – dan eyang buyut dari Raden Mas Rangsang. Ki Juru Martani, Ki Pemanahan serta Danang Sutawijaya saat itu adalah yang mengawali babat Alas Mentaok yang angker – gawat kaliwat-liwat. Namun kini telah menjadi sebuah negeri yang besar.
Ki Patih Mandaraka-lah saksi sejarah yang masih hidup sampai saat itu.
Bersambung……..
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Ken Sagopi dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.
