Trah Prabu Brawijaya.
(@SUN-aryo)
(834)
Mataram.
Pasukan berkuda Mataram yang dipimpin oleh Raden Gagak Baning dan Ki Dhandhang Wisesa terus melaju ke arah timur. Namun untuk sampai di Madiun sebelum matahari terbit sepertinya tidak mungkin. Perjalanan di malam hari memang tidak selancar di siang hari. Di malam hari mereka tidak bisa memacu kuda-kuda mereka, apalagi dalam rombongan yang besar. Raden Gagak Baning dan Ki Dhandhang Wisesa belum menyadari bahwa mereka telah diketahui oleh para prajurit sandi dari Madiun.
Sementara itu, pasukan Madiun yang dibantu oleh beberapa pasukan prajurit dari beberapa kadipaten telah menghadang pasukan berkuda dari Mataram di luar perbatasan kota. Retna Dumilah putri dari Kanjeng Adipati Rangga Jumena yang menjadi senopati tertinggi pasukan gabungan itu.
“Kita jebak saja mereka dengan gelar jurang grawah…..!” Berkata Senopati Retna Dumilah yang telah menguasai berbagai gelar perang.
“Baik sang senopati putri…..! Kita siaga dengan bersembunyi di kiri kanan jalan. Jika mereka sudah masuk, baru kita sergap secara bersamaan…..!” Berkata Adipati Lamongan.
“Terimakasih Paman Adipati, nanti akan kami beri aba-aba……! Aku harap Panembahan Senopati sendiri yang memimpin pasukan yang sombong itu…..!” Berkata Senopati Retna Dumilah.
“Jika Panembahan Senopati yang memimpin pasukan itu, biar aku yang menghadapinya…..!” Berkata Adipati Trenggalek yang merasa berilmu tinggi itu.
“Aku juga ingin berhadapan dengan Danang Sutawijaya yang sombong itu….!” Berkata Adipati Singasari tak mau kalah.
“Terimakasih paman-paman, Panembahan Senopati adalah jatah senopati pimpinan seluruh pasukan ini. Akan saya hadapi sendiri…..!” Senopati Retna Dumilah memutuskan.
Sebenarnya mereka belum yakin bahwa Senopati wanita yang masih muda itu akan mampu menghadapi Panembahan Senopati yang telah kaya pengalaman. Namun mereka tidak berbantah dengan senopati pimpinan yang telah ditunjuk oleh Adipati Rangga Jumena.
Dalam pada itu, pasukan berkuda dari Mataram tidak seperti yang mereka harapkan. Mereka berharap sebelum matahari terbit sudah sampai di keraton Kadipaten Madiun. Tetapi kini mereka masih jauh di luar kota Madiun.
“Kita berembug dahulu Paman…..!” Pinta Raden Gagak Baning kepada Ki Dhandhang Wisesa.
“Baik Raden…..! Jika sudah siang, para prajurit Madiun pasti sudah bersiaga….! Sebaiknya kita perlu bersiaga jangan sampai kita yang terjebak….!” Berkata Ki Dhandhang Wisesa.
“Ya Paman, seperti-nya terlalu berbahaya jika kita langsung masuk ke keraton Madiun saat ini. Sebaiknya kita pancing saja, biar mereka yang keluar…..!” Berkata Raden Gagak Baning.
“Walau pasukan ini cukup kuat, namun tuan rumah pasti lebih menguasai medan. Sebaiknya memang kita pancing saja mereka keluar dari dalam kota. Namun kita tidak diam. Kita maju setapak demi setapak dengan kewaspadaan…..!” Jawab Ki Dhandhang Wisesa.
Pasukan berkuda dari Mataram itu kemudian melanjutkan perjalanan dengan tidak memacu kuda mereka. Jalanan kota Madiun pun sudah ramai. Dan mereka yakin bahwa kedatangan pasukan itu sekarang sudah diketahui oleh para prajurit Madiun. Maka mereka harus lebih berhati-hati, namun tetap percaya diri akan mampu menghadapi pasukan Madiun. Namun demikian, Raden Gagak Baning maupun Ki Dhandhang Wisesa tidak menyadari bahwa pasukan dari berbagai kadipaten masih berada di Madiun. Mereka mengira bahwa para adipati dan para pengiringnya telah kembali ke kadipaten masing-masing.
Naluri perang dari Ki Dhandhang Wisesa yang telah lebih setengah baya itu merasakan keanehan karena jalanan yang menjadi lengang.
“Berhenti dahulu Raden…..! Jalanan yang tiba-tiba lengang ini pasti ada alasannya. Jangan-jangan ini menjadi bagian dari gelar perang…..!” Berkata Ki Dhandhang Wisesa.
“Benar Paman…..! Kita harus waspada…..!” Jawab Raden Gagak Baning.
Pasukan berkuda itu kemudian berderap pelan dengan penuh kewaspadaan.
…………..
Bersambung……….
***Tonton pula vidio kontens YouTube kami yang terbaru Seri Harjuna Sasrabahu dan Pitutur Jawi. Cari; St Sunaryo di Youtube atau di Facebook maupun di Instagram.